Rabu, 05 Juni 2013

tripitaka



1. Pengertian Tripitaka
Setiap agama memiliki sumber ajaran yang menjadi pedoman dalam melakukan peribadatan. Sumber itu bisa berasal dari “wahyu” Tuhan atau catatan-catatan yang berasal dari pembawa agama tertentu. Sumber itu biasa disebut sebagai Kitab Suci. Kitab Suci ini dianggap sakral karena memiliki nilai yang luhur dan suci.
Dalam Agama Buddha yang menjadi sumber dan pedoman dalam melakukan peribadatan adalah Tripittaka. Arti dari pittaka itu sendiri adalah keranjang. Konon, saat mengumpulkan lembaran-lembaran Kitab Suci Tripittaka yang tertulis di lontar-lontar kemudian dikumpulkan dalam keranjang-keranjang. Kitab itu berisi pidato-pidato dan ajaran Buddha Gautama yang dikumpulkan oleh para muridnya setelah Buddha meninggal dunia. Dibanding dengan Weda, Tripittaka mudah sekali dipahami oleh rakyat, karena ditulis dalam bahasa Pali, bahasa rakyat di daerah Moghad, tempat Buddha bertapa mencapai pencerahan (hikmat), sedang kitab Weda tertulis dalam bahasa Sangskerta, bahasa Arya yang dirasa terlalu tinggi oleh rakyat biasa. Namun, sesuai perkembangan zaman Tripittaka pun akhirnya ditulis dalam bahasa Sanskerta.
2. Sejarahnya Penulisan Tripittaka
Beberapa minggu setelah Sang Buddha wafat (483 SM), seorang Bhikku tua yang tidak disiplin bernama Subhaddha berkata, “Janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah meratap, sekarang kita terbebas dari Pertapa Agung yang tidak akan lagi memberitahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita menderita, tetapi sekarang kita dapat berbuat apa pun yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi” (Vinaya Pittaka II, 284). Maha Kassapa Thera setelah mendengar kata-kata itu memutuskan untuk mengadakan Pesamuan Agung (Konsili) di Rajagaha.
Dengan bantuan Raja Ajatasattu dari Magadha, 500 orang Arahat berkumpul dari Gua Sattapanni dekat Rajagaha untuk mengumpulkan ajaran Sang Buddha yang telah dibabarkan selama ini dan menyusun secara sistematis. Yang Ariya Ananda siswa terdekat Sang Buddha, mendapat kehormatan untuk mengulang kembali khotbah-khotbah Sang Buddha dan Yang Ariya Upali mengulang Vinaya (peraturan-peraturan). Dalam Pesamuan Agung I inilah dikumpulkan seluruh ajaran Sang Buddha seperti tersebut dalam Kitab Suci Tripittaka (Pali) disebut Pemeliharaan Kemurnian Ajaran sebagaimana sabda Sang Buddha yang terakhir,”Jadikanlah Dhamma dan Vinaya sebagai pelita dan pelindung bagi dirimu”.
Pada mulanya Tripittaka (Pali) ini diwariskan atau diajarkan secara oral (lisan) dari satu generasi ke generasi berikutnya. Satu abad kemudian terdapat sekelompok Bhikku yang hendak berniat mengubah Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikku yang ingin mempertahankan Dhamma-Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha Gotama menyelenggarakan Pesamuan Agung II dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali, di mana isi Kitab Suci Tripittaka (Pali) diucap ulang oleh 700 orang Arahat. Kelompok Bhikku yang memegang teguh kemurnian Dhamma-Vinaya ini menamakan diri Sthaviravada, yang kelak disebut Theravada. Sedangkan kelompok Bhikku yang ingin mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak berkembang menjadi mazhab Mahayana. Jadi, seabad setelag Sang Buddha Gotama wafat, Agama Buddha terbagi menjadi dua mazhab besar yaitu, Theravada dan Mahayana.
Pesamuan Agung ketiga diadakan di Pattaliputta (Patna) pada abad ketiga sesudah Sang Buddha wafat sekita 249 SM, dengan pemerintahan di bawah Kaisar Asoka Wardhana. Kaisar ini memeluk Agama Buddha dan dengan pengaruhnya banyak membantu menyebarkan Dhamma ke seluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu, ribuan gadungan (penyelundup ajaran gelap) masuk ke dalam Sangha dengan maksud menyebarkan ajaran-ajaran mereka sendiri untuk menyesatkan umat. Untuk mengakhiri keadaan ini, Kaisar menyelenggarakan Pesamuan Agung dan membersihkan tubuh Sangha dari penyelundup-penyelundup serta merencanakan para Duta Dhamma ke negeri-negeri lain.
Dalam Pesamuan Agung ketiga ini, 100 orang Arahat mengulang kembali pembacaan Kitab Suci Tripittaka (Pali) selama sembilan bulan. Dari titik tolak Pesamuan inilah Agama Buddha dapat tersebar ke seluruh penjuru dunia dan terhindar lenyap dari bumi asalnya.
Pesamuan Agung Keempat diadakan di Aluvihara (Srilanka) di bawah lindungan Raja Vattaqamani Abhaya pada permulaan abad keenam sesudah Sang Buddha wafat sekitar 83 SM. Pada kesempatan itu Kitab Suci Tripittaka (Pali) dituliskan untuk pertama kalinya. Tujuan penulisan ini adalah agar semua orang mengetahui kemurnian Dhamma-Vinaya.
Selanjutnya, Pesamuan Agama Kelima diadakan di Mandalay (Burma) pada permulaan abad 25 sesudah wafat Sang Buddha wafat (1871) dengan bantuan Raja Mindon. Kejadian penting pada waktu itu, adalah Kitab Suci Tripittaka (Pali) diprasastikan pada 727 buah lempengan marmer (batu pualam) dan diletakan di bukit Mandalay.
Persamuan Agung keenam diadakan di Rangoon pada hari Visakha Puja tahun Buddhis 2498 dan berakhir pada tahun Buddhis 2500 (tahun Masehi 1956). Sejak saat itu penterjemahan Kitab Suci Tripittaka (Pali) dilakukan ke dalam beberapa bahasa Barat.
Sebagai pengetahuan tambahan, dapat dikemukakan bahwa pada abad pertama sesudah Masehi, Raja Kaniska dari Afganistan mengadakan Pesamuan Agung yang tidak dihadiri oleh kelompok Theravada. Bertitik tolak pada Pesamuan ini, Agama Buddha mazhab Mahayana berkembang di India dan kemudian menyebar ke negeri Tibet dan Tiongkok. Pada Pesamuan ini disepakati adanya kitab-kitab suci Buddhis dalam Bahasa Sansekerta dengan banyak tambahan sutra-sutra baru yang tidak terdapat dalam Kitab Suci Tripittaka (Pali).
Dengan demikian, Agama Buddha mazhab Theravada dalam pertumbuhannya sejak pertama sampai sekarang, termasuk di Indonesia, tetap mendasarkan penghayatan dan pembabaran Dhamma-Vinaya pada kemurnian Kitab Suci Tripittaka sehingga dengan demikian tidak ada perbedaan dalam hal ajaran antara Theravada di Indonesia, Thailand, Srilanka, Burma maupun di negara-negara lain.
Sampai abad ketiga setelah Sang Buddha wafat mazhab Sthaviravada terpecah menjadi 18 sub mazhab, antara lain : Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka, Theravada dan sebagainya. Pada dewasa ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu telah lenyap. Yang masih berkembang sampai sekarang hanyalah mazhab Theravada (ajaran para sesepuh). Dengan demikian, nama Sthaviravada tidak ada lagi. Mazhab Theravada inilah yang kini dianut oleh negara-negara Srilanka, Burma, Thailand dan kemudian berkembang di Indonesia dan negara-negara lain.
3. Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka, Abidhama Pitaka dan Bagian-Bagiannya
Menurut Harun Hadiwidjono seorang pendeta Protestan dalam bukunya Agama Hindu dan Buddha, dinamakan Tripittaka, karena memang kitab itu merupakan tiga himpunan pidato Buddha, yang masing-masing pittaka itu mempunyai arti. Diantaranya :
1. Winayapittaka berisi berbagai hukum dan peraturan dalam kehidupan para penganut Buddha. Peraturan-peraturan itu untuk mengatur tata tertib sangha atau jemaat, kehidupan sehari-hari para biksu atau bhikku atau rahib, dan sebagainya (Harun Hadiwidjono, 2010:63). Kitab ini terdiri atas Sutra Vibanga, Khandaka, dan Parivawa.
2. Sutrantapittaka, berisi pidato-pidato dan wejangan Buddha. Sutra (bahasa Sansakerta) atau Sutta (bahasa Pali) mempunyai arti sederhana yaitu ‘benang’. Asal kata sastra pun diambil dari katta sutta. Yang dimaksud benang adalah tali halus yang dipintal dari kapas atau sutera, yang gunanya untuk menjahit atau merangkai sesuatu. Sutrantapittaka terbagi lima antara lain, Dighanikaya, Majjhimanikaya, Angutaranikaya, Samyuttanikaya, dan Khuddakanikaya.
3. Abbidharmapittaka, berisi penjelasan dan uraian tentang keagamaan. Selain itu, di dalamnya dibahas pula filsafat dan metafisika, juga sastra, memberikan definisi kata-kata BuddhaDharma, dan penjelasan terperinci mengenai filsafat dengan sistematis, memantapkan suatu metode mengenai latihan spiritual oleh para sesepuh dari aliran atau sekte pada waktu itu, kumpulan dari kitab Abidharma ini dinamakan AbidharmaPitaka. Kitab ini terbagi kepada tujuh buah buku (pakarana), yaitu : dhammasangani, vibhanga, dhatukatha, puggallapannatti, kathavatthu, yamaka, dan patthana.

0 komentar:

Posting Komentar