Sejarah Agama Buddha
Riwayat Hidup Siddharta Gautama
Dosen Pembimbing : Hj. Siti Nadroh
Makalah Pembanding I
Disusun untuk Memenuhi Syarat pada Mata Kuliah Budhisme
Oleh :
Fahmi Dzilfikri
(1111032100030)

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
I. Pendahuluan
Mahasiswa yang telah mempelajari Hinduisme tidak akan heran ketika
mendengar tokoh yang sangat kontras sekali dengan zamannya yaitu Sidharta
Gautama. Karena dalam periodesasi agama Hindu dikenal dengan zaman Buddha. Namun sekaligus mendapati kesulitan-kesulitan
dalam menguraikan gambaran historis mengenai Sidharta Gautama ini, yang
diyakini sebagai pendiri agama Buddha.
Kesulitan-kesulitan itu timbul karena sangat sedikitnya mengenai sumber-sumber
sejarah asli yang membahas tentang Sidharta Gautama. Terutama sekali di India,
-tempat lahir Sang Buddha- ide atau budaya tentang penulisan biografi tidak
dikenal di dalam perpustakaannya. Meskipun begitu, penulis tidak berkecil hati,
melalui beberapa sumber yang telah tersedia diantaranya karya Ven Narada Mahathera, berusaha memilah dan memilih mana yang menjadi kajian sejarah.
Namun demikian, bukan berarti yang tercantum di sini boleh dipercaya dan yang
tidak itu dianggap tidak dapat dipercaya. Penulis berusaha mencoba sebisa
mungkin untuk objektif dalam artian dapat diterima umum, dan semoga
mendapatakan penerangan mengenai riwayat Hidup Sang Budha.
II.
Riwayat
Sidharta Gautama;
A.
Kehidupan
Sang Budha
Saat bulan
purnama pada Mei , tahun 623 S. M[1].
di taman Lumbini[2],
Kapilavastthu diperbatasan India yang sekarang merupakan wilayah Nepal
lahir seorang pangeran mulia yang sudah ditunggu-tunggu oleh sang raja bernama Suddhodana
dari keluarg
a Sakya dan istrinya Ratu Maha Maya[3].
Dikisahkan
sebelum kelahiran Sidharta, pada suatu pesta Maya mengucapkan sumpah kesucian dan
meminta kepada Suddhodana untuk tidak menunjukan rasa cintanya (melakukan
hubungan suami-istri) lagi. Pada malam berikutnya terjadilah penurunan biji
secara gaib pada bulan purnama dan di
bawah bintang mengkara. Bodhisattva, dalam wujud seekor gajah putih[4]
masuk-dengan penuh kesadaran- ke dalam rahim Maya yang pada saat itu sedang
sendirian dikamarnya[5].
Maya hanya merasakan itu seperti mimpi. Di dalam mimpinya itu ia pergi ke
Himalaya dan di sana ia diperliahara oleh para dewa dewi yang kemudian
tiba-tiba ia dalam keadaan hamil. Dalam kisah lain disebutkan, ia bermimpi
bertemu dengan seekor anak gajah dan menari bersamanya. Maya mengajak suaminya
ke sebuah hutan dan menceritakan peristiwa itu padanya, bahkan para Brahmana
meramalkan bahwa anak yang akan dilahirkannya ini akan menjadi raja besar dan
menguasai seluruh dunia. Sebelum masa lahirnya, banyak sekali terjadi
keajaiban-keajaiban dan bahkan Maya menjadi sumber pengobatan bagi orang-orang.
Ketika masa bersalin semakin dekat, Maya pergi ke taman Lumbini untuk menemui
kedua orang tuanya yang berada di desa Lumbini. Pada saat melintasi taman,
tiba-tiba ia merasa akan melahirkan kemudian ia melahirkan sambil berdiri dan
memgang sebuah pohon[6].
Ada yang
mengatakan bahwa sebelum melahirkan Sidartha, Maya mendapatkan sebuah visi
untuk pergi ke sebuah hutan dan melahirkan di sana. Dalam proses melahirkan terjadi
keajaiban-keajaiban, ketika Maya akan melahirkan tiba-tiba sebuah batang pohon
menunduk sehingga ia dapat berpegangan pada batang tersebut. Maya pun
melahirkan tanpa darah, dan bayinya pun sudah dalam keadaan bersih. Bayi itu
pun, yang tidak lain adalah Sidharta berjalan sebanyak 7 langkah dan berbicara
bahwa ia tidak akan dilahirkan kembali serta akan melepaskan seluruh manusia
dari samsara. Ketika ia berjalan dan menginjak bunga teratai yang mati
seketika itu pun bunga itu tumbuh lagi[7].
Tujuh hari
setelah kelahiran Sidharta, Maya akhirnya wafat karena dia hanya sebagai tempat
untuk kedatangan sang Buddha ke dunia[8].
Kepengasuhanya ditugaskan kep ada adik ratu, Maha Pajapati Gotami yang
juga dinikahi oleh raja Suddhodana[9].
Rakyat sangat
bahagia atas kelahiran sang pangeran yang telah ditunggu-tunggu ini. Bahkan seorang pertapa yang telah
mencapai spiritual yang tinggi, Asita, yang dikenal Kaladevala pun
mengunjungi bayi itu. Raja, merasa terhormat atas kedatangan gurunya yang tidak
terduga itu. Ia membawa bayi untuk memberikan salam, tetapi di luar dugaan kaki
bayi memutar dan menempel di atas rambut pertapa. Pertapa itu pun mendapatkan visi bahwa kelak bayi ini akan menjadi Buddha,
seorang yang mencapai Penerangan Sempurna. Namun, ayahnya tidak setuju, karena
ia ingin anaknya menjadi raja yang menguasai seluruh negeri. Akhirnya, pertapa
itu pun pergi memberikan salam dengan merangkapkan kedua belah tangan.[10]
Pada hari kelima kelahiran Pangeran, ia diberi nama Siddarttha Gotama.
Siddharta artinya keinginan yang terpenuhi dan Gotama merupakan nama
keluarganya.

Ketika usia
Siddharta mencapai 16 tahun, ia menikah dengan saudara sepupunya yang seusia,
Yashodara. Hampir selama 13 tahun setelah pernikahnya dia hidup dengan bahagia,
dalam kemewahan dan tidak pernah merasakan kesedihan, kekurangan. Ia dikarunia
seorang anak. Ia hidup dalam istana tanpa pernah tahu apa yang terjadi di luar istana.
Seiring
berjalannya waktu, pada akhirnya kenyataan itu pun nampak. Suatu ketika Ia
ingin keluar istana, tetapi ayahnya tidak mengijinkan. Atas desakan dan paksaan
dari Siddharta akhirnya diijinkalah keluar. Namun, ayahnya merekayasa keadaan
di luar istana, yang boleh muncul dihadapannya adalah orang yang masih muda, dan
gagah perkasa. Dalam acara penyambutan sang pangeran, ternyata ada dua orang
yang sudah tua, yang satu buta dan satu lagi pincang. Siddharta terkejut dan
menanyakan kepada ajudannya, Channa[11]
tentang mereka. Kemudian Channa menjelaskan bahwa mereka adalah manusia seperti
kita, hanya usia mereka sudah tua. Sekembalinya ke istana, Siddharta marah
kepada ayahnya karena selama ini dia menyembunyikan keadaan sebenarnya yang
terjadi di luar istana. Ayahnya menjelaskan dengan sangat lembut tanpa nada
tinggi bahwa apa yang dilakukanya adalah kasih sayang kepada Siddharta.
Istana bukan
lagi tempat yang menyenangkan bagi Siddharta yang sedang melakukan perenungan.
Kehidupan istana yang begitu mempesona tidak dapat menjawab segala kegundahan
yang dialami oleh Siddharta. Dia meyakini punya peranan penting ketimbang
sebagai raja Kapilavastthu[12].
Istri muda, anak yang terkasih tidak dapat menghalangi dan mengubah
keputusannya untuk melakukan perenungan di luar istana. Waktu untuk
meninggalkan keduniawian sudah tiba.
Ketika malam
di mana Siddharta akan melakukan perjalanan suci yang bersejarah, tiba-tiba
awan hitam menyelimuti kerajaan sehingga semua orang yang tinggal dikerajaan
tertidur pulas. Kemudian Siddharta membangunkan Channa untuk menyiapkan kuda Kanthaka
lalu pergi ke gerbang istana. Sebelum meninggalkan istana, Siddharta pergi ke
kamarnya berdiri dengan tenang memandang istri dan anaknya yang tidur nyenyak. Dia sangat
menyayangi keduanya, namun kasih sayang kepada umat manusia lebih mendominasinya
untuk menyelamatkan mereka dari segala penderitaan.
Pada saat
usia 29 tahun, Siddharta melaksanakan perjalanan bersejarah itu. Beliau pergi
jauh, menyeberangi sungai Anoma dan beristirahat di tepi sungai. Di sini beliau
mencukur rambut dan janggutnya serta memberikan pakaian dan perhiasaan kepada
Channa dengan menyuruh agar ia kembali ke istana, selanjutnya ia mengenakan
pakaian kuning sederhana untuk menjalani kehidupan miskin.
Siddhartha
sebelum melakukan pertapaan, hidup dalam kemewahan dan bergelimang harta. Tapi
kini ia menjadi seorang papa, hidup dari pemberian para dermawan atas kemauan
mereka sendiri.
Siddharta
tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Siang atau malam pohin yang rindang atau
gua menjadi tempat berteduh sementara. Tanpa alas kaki dan tudung kepala
berjalan di bawah sengatan matahari dan kadang dingin yang menusuk.
Beberapa
tahun, ia jalani sebagai pertapa. Pada akhirnya ia menemukan seorang pertapa
yang terkenal, Alara kalama untuk membimbingnya mencapai Kesunyataan. Lama
Siddharta berguru pada Kalama, tetapi tidak sampai pada pemahaman Kesunyataan
tertinggi.
Usaha ini
menenangkan pikirannya tetapi tidak dapat menjawab segala kegundahan yang dia
rasakan yaitu menemukan obat untuk menghilangkan penderitaan.
B.
Sang Buddha Mendapatkan Penerangan Tertinggi
Ketika dia
berhasil keluar dari istana dan bertekad menjadi seorang pertapa, ia telah siap
menerima segala resikonya. Walaupun menjumpai kekecewaan tetapi tidak
mengecilkan hati pertapa Gotama, untuk mencari dan menemukan makna dari
kehidupan ini. Pengembaraannya melalui daerah Maghada[13]
dan tiba di daerah Uruvela (kota dagang Senani). Di sana ia menemukan sebuah
tempat yang dianggap cocok untuk meditasi, sebuah hutan belukar yang sangat
rimbun dengan pepohonan seperti belum terjamah oleh manusia.
Mula-mula ia
melakukan olah pernapasan dan pantangan makan. Pada fase pertama ia melakukan
pantangan makan secara ekstrim. Kemudian ia menjadi terkenal sebagai pertapa
yang suci sehingga diikuti oleh lima pertapa lain yang kemudian menjadi murid-muridnya
generasi pertama yaitu Kondana, Bodiya, Wappam Mahanama dan Asaji. Selama enam tahun
mereka menahan lapar dan haus tidak makan dan minum, sehinnga tubuh mereka
semakin melemah. Bahkan begitu kerasnya puasa yang dia lakukan, ketika
menyentuh pusarnya maka ia dapat merasaakan tulang punggungnya. Tiba-tiba
Siddharta jatuh pingsan sehingga murid-muridnya mengira bahwa ia telah mati.
Namun ia sadar kembali dan menyadari bahwa apa yang dilakukannya selama ini
tidak bermanfaat[14].
Ada yang
mengatakan bahwa ketika ia sedang melakukan meditasi, melintaslah seorang pujangga
yang sedang memetik dawainya. Ia menyadari jika senar itu diikatkan terlalu
keras, maka yang terjadi putus dan jika terlalu kendor maka tidak akan menghasilkan
bunyi yang bagus tidak sedap didengarkan. Namun hal imi, membuat kelima muridnya goncang dan meninggalkan dia
sendiri. Siddharta melakukan jalan tengah, karena ia menyadari bahwa Penerangan
Sempurna tidak dapat dicapai dengan tubuh yang amat lelah seperti ini.
Kesehatan jasmani perlu sekali untuk kemajuan batin. Jadi dia memutuskan untuk
memberikan makan secara sedikit-sedikit kepada tubuhnya[15].
Pada suatu
malam di bulan Waisak, ketika purnama di tepi sungai Neranjara, Siddharta
yang kala itu berusia 35 tahun, duduk padmasana di bawah pohon Assatta
(pohon Bodi) sambil mengheningkan cipta melakukan meditasi dengan mengatur
pernapasannya, sehingga ia mendapatkan penerangan sempurna meliputi pengetahuan
yang tinggi[16],
yaitu :
a.
Pubbenivasanussati,
yaitu pengetahuan tentang kehidupan dan proses kelahiran kembali (tumiba
lahir)
b.
Dibacakkhu, yaitu pengetahuan dari mata dewa dan mata batin
c.
Cuti upapatana,
yaitu pengetahuan bahwa timbul dan hilangnya bentuk-bentuk kehidupan, baik
atau buruk, bergantung pada perilaku masing-masing
d.
Asvakkhayanana,
pengetahuan tentang padamnya semua kecenderungan dan Adviya, tentang
menghilangkan ketidaktahuan.
Setelah tujuh
minggu menetap dengan tujuh kali bergeser tempat di sekeliling Pohon Bodi, maka
hari terkakhir dari peristiwa yang suci itu, datanglah dua saudara, Tapusa dab
Bhaluka yang terpesona melihat Sang Buddha. Kemudian keduanya mempersembahkan
nasi, makanan dan madu serta memohon untuk menjadi pengikutnya. Itulah pengikut
Buddha yang pertama.
Dengan
demikian, ia mendapatkan penerangan yang paripurna, pengetahuan sejati dan
kebebasan batin sempurna. Dia telah mendapatkan jawaban atas teka-teki
kehidupan yang selama ini dia cari dengan pengertian penuh sebagaimana
tercantum dalam empat “kasunyataan mulia” yaitu Penderitaan, Sumber
Penderitaan, Lenyapnya penderitaan dan delapan cara yang utama untuk
melenyapkan penderitaan itu.
C.
Sang Budha
Mengajarkan Dharma
Pada suatu
ketika setelah tercapainya Penerangan, Sang Buddha berada di kaki pohon Ajapala
banyan ditepi sungai Neranjara. Karena beliau sedang bermeditasi sendiri,
pikiran semacam ini muncul dalam benaknya, apakah untuk dirinya sendiri ; atau
apakah dia bertanggung jawab untuk mengajar orang lain? Setelah sejumlah
perdebatan dengan dirinya sendiri, dia memilih menjadi guru Dharma. Formulasi
paling dasar wawasannya adalah Empat Kebenaran Utama. Semua kehidupan adalah
penderitaan. Penyebab penderitaan adalah keinginan. Menghilangkan keinginan
berarti menghilangkan penderitaan. Cara menghilangkan penderitaan adalah dengan
mengikuti Delapan Jalan yang utama : pandangan yang benar, perhatian yang
benar, berkata yang benar, bertindak yang benar, hidup yang benar, berusaha yang
benar, berpikiran yang benar dan berkonsentrasi yang benar[17].
Ajaran
Buddha selalu merujuk pada Empat Kebenaran Utama. Ajaran ini menggunakan
Delapan Jalan sebagai rangsangan untuk melengkapi bentuk agama yang lengkap dan
utuh yang difokuskan pada tiga perhatian utama : kebijaksanaan, moralitas dan
meditasi. Buddha menghabiskan separuh akhir hidupnya mengajarkan apa yang telah
dipelajarinya. Motifnya adalah keinginan yang besar agar semua makhluk hidup
memperoleh penerangan seperti yang diberikan padanya. Dibanding dengan cahaya
yang menyinarinya, tidak ada yang bersifat dunia yang dapat mempengaruhinya. Karenanya
dia berkelana dalam kesunyianm mengemis untuk makan, mengajarkan mereka yang
ingin mendengarkan solusinya terhadap masalah keberadaan manusia.[18]
Selama 45
tahun lamanya Sang Buddha mengajarkan ajaran-ajaranya, pengikutnya semakin
bertambah dari sekitar 60 orang anggota sangha menjadi ribuan orang yang
tentunya memerlukan banyak Vihara. Pada akhirnya Siddharta wafat usia 80 tahun
di Kusiwara yang terletak sekitar 180 Km kota Benares. Ia meninggal tanpa
menunjukan siapa yang akan menjadi penerus setelahnya, terjadilah perpecahan
dihari kemudian ke pada dua golongan, yaitu Theravada (Hinayana) dan
Mahasangika (Mahayana)[19].
III. Penutup
Pada saat
dia mendirikan sebuah komunitas penting yang terdri dari para pendeta,
Siddharta sangat puas dengan perannya sebagai guru Dharm, pemrakarsa Ketertiban
dab model kehidupan yang diberkat. Jika cahaya adalah simbol sentral dalam
pengalaman jiwa yang membuat dia menjadi seorang Buddha, kedamaian tampaknya
mendominasi penampilan luarnya. Dia sangat ramah, lembut tetapi sangat tegas
ketika menyangkut tentang kebenaran religius.
Siddharta
mungkin menggunakan intuisinya untuk menunjukan peran penting kerukunan, dari
pemahamannya yang dicerahkan bagi sifat alami manusia. Siddharta memikirkan
kelompoknya sebagai sebuah kelompok demokrasi dalam artian bahwa dia
menginginkan mereka untuk berkumpul lebih sering, supaya melakukan hal-hal yang
perlu dilakukan agar dapat mempertahankan ketertiban.
Keheningan
yang kita temukan dalam diri Siddharta dan kejujuran konservatif yang
terbingkai dari khotbah-khotbahnya, dipahami sebagai ekspresi keseimbangan di
dalam jiwa. Keseimbangan itu membuat dia menyatakat memiliki kebijaksanaan
persuasif.
Daftar Pustaka
Carmody, Dennis
Lardner dan John Tully Carmody. In The Path of the Masters
(diterjemahkan oleh Tri Budhi Sastrio). Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. 2003
Hadikusuma,
Prof. H. Hilman, Antropologi Agama I. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.
1993
Jr, Honing A.
G.. Ilmu Agama. Jakarta : PT BK Gunung Mulia, 1997 Cet. Ke 2
Nasr, Seyyed Hossein. Tasawuf,
Dulu dan Sekarang (terjemahan Abdul Hadi W. M.) . Jakarta : Pustaka
Firdaus, 1991. Cet. II
T, . Suwarto., Buddha Dharma Mahayana. Jakarta
: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. 1995
Ven Narada
Mahatera. Sang Buddha dan Ajaran-ajarannya. Jakarta : Yayasan Dhammadipada Arama, 1994.
Warren, Henry
Clarke. Budhism in Translations. New York : Atheneum, 1973.
[1]Tahun
Buddhis berbeda dengan tahun Masehi. Tahun Buddhis diawali saat sang Buddha
mencapai Parinibbana bukan berdasarkan tahun lahir sang Buddha, yaitu
543 SM. Lahir Buddha ini pada bulan Vaisakha, di Indonesia sering
peringati sebagai Hari Waisak.
[2]
Taman Lumbini letanya sekitar 150 Km dari Benares. Lihat Prof. H.
Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama I (Bandung : PT Citra Aditya Bakti,
1993) h. 210
[3]Ven
Narada Mahatera. Sang Buddha dan Ajaran-ajarannya. (Jakarta : Yayasan Dhammadipada Arama, 1994) h. 3
[4]Gajah
dalam agama Hindu dianggap sebagai hewan suci perlambang dewa Ganesha putra
Siwa
[5]Kisah
pengandungan Bodhisattva ini merip sekali dengan kisah kristus, ada pencaplokan
sejarah atau tidak perlu kajian yang lebih mendalam.
[6]
Honing A. G. Jr. Ilmu Agama. (Jakarta : PT BK Gunung Mulia, 1997) Cet.
Ke 2, h. 169
[7]
William Theodore de Bery. Ed., The Buddhist Tradition (New York :
Vintage Books, 1972) h. 68-69
[8]
Honing A. G. Jr. Ilmu Agama. Cet. Ke 2, h. 170
[10]Drs. Suwarto T., Buddha Dharma
Mahayana. (Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995) h. 7-9
[11]
Channalah yang pertama kali memperkenalkan Siddharta tentang kelahiran, tumbuh
dewasa hingga menjadi tua dan berujung kematian.
[12]Buddha
ini dikatakan sebagai nabi Dzu al-Kifl dalam al-Qur’an adalah Buddha dari Kifl
(Kapilavastthu) dan “pohon arasy” yang disebut dalam surat 95 adalah
pohon Bodhi yang di bawahnya Buddha memperoleh pencerahan atau illuminasi.
Lihat Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf, Dulu dan Sekarang (terjemahan Abdul
Hadi W. M.) , (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1991) Cet. II h. 154-55
[13]
Siddharta pergi ke arah Rajagaha, ibu kota Magadha untuk mencari seorang guru
yang luas pengetahuannya. Lihat Honing A. G. Jr. Ilmu Agama. Cet. Ke 2,
h. 173
[14]Prof.
H. Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama I h. 210-211
[16]
Prof. H. Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama I (Bandung : PT Citra
Aditya Bakti, 1993) h. 211
[17]Dennis
Lardner Carmody dan John Tully Carmody. In The Path of the Masters
(diterjemahkan oleh Tri Budhi Sastrio) (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,
2003) h. 36
[18]
Lebih lanjut lihat Henry Clarke Warren, Budhism in Translations (New
York : Atheneum, 1973), h. 351 dan seterusnya.
[19]
Prof. H. Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, h. 213
0 komentar:
Posting Komentar