1. Pengertian
Tripitaka
Setiap agama
memiliki sumber ajaran yang menjadi pedoman dalam melakukan peribadatan. Sumber
itu bisa berasal dari “wahyu” Tuhan atau catatan-catatan yang berasal dari
pembawa agama tertentu. Sumber itu biasa disebut sebagai Kitab Suci. Kitab Suci
ini dianggap sakral karena memiliki nilai yang luhur dan suci.
Dalam Agama
Buddha yang menjadi sumber dan pedoman dalam melakukan peribadatan adalah Tripittaka.
Arti dari pittaka itu sendiri adalah keranjang. Konon, saat mengumpulkan
lembaran-lembaran Kitab Suci Tripittaka yang tertulis di lontar-lontar kemudian
dikumpulkan dalam keranjang-keranjang. Kitab itu berisi pidato-pidato dan
ajaran Buddha Gautama yang dikumpulkan oleh para muridnya setelah Buddha
meninggal dunia. Dibanding dengan Weda, Tripittaka mudah sekali dipahami
oleh rakyat, karena ditulis dalam bahasa Pali, bahasa rakyat di daerah Moghad,
tempat Buddha bertapa mencapai pencerahan (hikmat), sedang kitab Weda tertulis
dalam bahasa Sangskerta, bahasa Arya yang dirasa terlalu tinggi oleh rakyat
biasa. Namun, sesuai perkembangan zaman Tripittaka pun akhirnya ditulis dalam
bahasa Sanskerta.
2. Sejarahnya
Penulisan Tripittaka
Beberapa
minggu setelah Sang Buddha wafat (483 SM), seorang Bhikku tua yang tidak
disiplin bernama Subhaddha berkata, “Janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah
meratap, sekarang kita terbebas dari Pertapa Agung yang tidak akan lagi
memberitahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang
membuat hidup kita menderita, tetapi sekarang kita dapat berbuat apa pun yang
kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi” (Vinaya Pittaka
II, 284). Maha Kassapa Thera setelah mendengar kata-kata itu memutuskan
untuk mengadakan Pesamuan Agung (Konsili) di Rajagaha.
Dengan
bantuan Raja Ajatasattu dari Magadha, 500 orang Arahat berkumpul dari Gua
Sattapanni dekat Rajagaha untuk mengumpulkan ajaran Sang Buddha yang telah
dibabarkan selama ini dan menyusun secara sistematis. Yang Ariya Ananda siswa
terdekat Sang Buddha, mendapat kehormatan untuk mengulang kembali
khotbah-khotbah Sang Buddha dan Yang Ariya Upali mengulang Vinaya
(peraturan-peraturan). Dalam Pesamuan Agung I inilah dikumpulkan seluruh ajaran
Sang Buddha seperti tersebut dalam Kitab Suci Tripittaka (Pali) disebut
Pemeliharaan Kemurnian Ajaran sebagaimana sabda Sang Buddha yang
terakhir,”Jadikanlah Dhamma dan Vinaya sebagai pelita dan pelindung bagi
dirimu”.
Pada mulanya
Tripittaka (Pali) ini diwariskan atau diajarkan secara oral (lisan) dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Satu abad kemudian terdapat sekelompok Bhikku
yang hendak berniat mengubah Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikku yang
ingin mempertahankan Dhamma-Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha
Gotama menyelenggarakan Pesamuan Agung II dengan bantuan Raja Kalasoka di
Vesali, di mana isi Kitab Suci Tripittaka (Pali) diucap ulang oleh 700 orang
Arahat. Kelompok Bhikku yang memegang teguh kemurnian Dhamma-Vinaya ini
menamakan diri Sthaviravada, yang kelak disebut Theravada. Sedangkan kelompok
Bhikku yang ingin mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak
berkembang menjadi mazhab Mahayana. Jadi, seabad setelag Sang Buddha Gotama
wafat, Agama Buddha terbagi menjadi dua mazhab besar yaitu, Theravada dan
Mahayana.
Pesamuan
Agung ketiga diadakan di Pattaliputta (Patna) pada abad ketiga sesudah Sang
Buddha wafat sekita 249 SM, dengan pemerintahan di bawah Kaisar Asoka Wardhana.
Kaisar ini memeluk Agama Buddha dan dengan pengaruhnya banyak membantu
menyebarkan Dhamma ke seluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu, ribuan gadungan
(penyelundup ajaran gelap) masuk ke dalam Sangha dengan maksud menyebarkan
ajaran-ajaran mereka sendiri untuk menyesatkan umat. Untuk mengakhiri keadaan
ini, Kaisar menyelenggarakan Pesamuan Agung dan membersihkan tubuh Sangha dari
penyelundup-penyelundup serta merencanakan para Duta Dhamma ke negeri-negeri
lain.
Dalam
Pesamuan Agung ketiga ini, 100 orang Arahat mengulang kembali pembacaan Kitab
Suci Tripittaka (Pali) selama sembilan bulan. Dari titik tolak Pesamuan inilah
Agama Buddha dapat tersebar ke seluruh penjuru dunia dan terhindar lenyap dari
bumi asalnya.
Pesamuan
Agung Keempat diadakan di Aluvihara (Srilanka) di bawah lindungan Raja
Vattaqamani Abhaya pada permulaan abad keenam sesudah Sang Buddha wafat sekitar
83 SM. Pada kesempatan itu Kitab Suci Tripittaka (Pali) dituliskan untuk
pertama kalinya. Tujuan penulisan ini adalah agar semua orang mengetahui
kemurnian Dhamma-Vinaya.
Selanjutnya,
Pesamuan Agama Kelima diadakan di Mandalay (Burma) pada permulaan abad 25
sesudah wafat Sang Buddha wafat (1871) dengan bantuan Raja Mindon. Kejadian
penting pada waktu itu, adalah Kitab Suci Tripittaka (Pali) diprasastikan pada
727 buah lempengan marmer (batu pualam) dan diletakan di bukit Mandalay.
Persamuan
Agung keenam diadakan di Rangoon pada hari Visakha Puja tahun Buddhis 2498 dan berakhir
pada tahun Buddhis 2500 (tahun Masehi 1956). Sejak saat itu penterjemahan Kitab
Suci Tripittaka (Pali) dilakukan ke dalam beberapa bahasa Barat.
Sebagai
pengetahuan tambahan, dapat dikemukakan bahwa pada abad pertama sesudah Masehi,
Raja Kaniska dari Afganistan mengadakan Pesamuan Agung yang tidak dihadiri oleh
kelompok Theravada. Bertitik tolak pada Pesamuan ini, Agama Buddha mazhab
Mahayana berkembang di India dan kemudian menyebar ke negeri Tibet dan
Tiongkok. Pada Pesamuan ini disepakati adanya kitab-kitab suci Buddhis dalam
Bahasa Sansekerta dengan banyak tambahan sutra-sutra baru yang tidak terdapat
dalam Kitab Suci Tripittaka (Pali).
Dengan
demikian, Agama Buddha mazhab Theravada dalam pertumbuhannya sejak pertama
sampai sekarang, termasuk di Indonesia, tetap mendasarkan penghayatan dan
pembabaran Dhamma-Vinaya pada kemurnian Kitab Suci Tripittaka sehingga dengan
demikian tidak ada perbedaan dalam hal ajaran antara Theravada di Indonesia,
Thailand, Srilanka, Burma maupun di negara-negara lain.
Sampai abad
ketiga setelah Sang Buddha wafat mazhab Sthaviravada terpecah menjadi 18 sub
mazhab, antara lain : Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka, Theravada dan
sebagainya. Pada dewasa ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu telah lenyap. Yang
masih berkembang sampai sekarang hanyalah mazhab Theravada (ajaran para
sesepuh). Dengan demikian, nama Sthaviravada tidak ada lagi. Mazhab Theravada
inilah yang kini dianut oleh negara-negara Srilanka, Burma, Thailand dan
kemudian berkembang di Indonesia dan negara-negara lain.
3. Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka, Abidhama Pitaka dan Bagian-Bagiannya
Menurut Harun
Hadiwidjono seorang pendeta Protestan dalam bukunya Agama Hindu dan Buddha, dinamakan
Tripittaka, karena memang kitab itu merupakan tiga himpunan pidato Buddha, yang
masing-masing pittaka itu mempunyai arti. Diantaranya :
1. Winayapittaka
berisi berbagai hukum dan peraturan dalam kehidupan para penganut Buddha. Peraturan-peraturan itu untuk mengatur tata tertib sangha
atau jemaat, kehidupan sehari-hari para biksu atau bhikku atau rahib,
dan sebagainya (Harun Hadiwidjono, 2010:63).
Kitab ini terdiri atas Sutra Vibanga, Khandaka, dan Parivawa.
2. Sutrantapittaka,
berisi pidato-pidato dan wejangan Buddha. Sutra
(bahasa Sansakerta) atau Sutta (bahasa Pali) mempunyai arti sederhana yaitu ‘benang’.
Asal kata sastra pun diambil dari katta sutta. Yang dimaksud benang adalah tali
halus yang dipintal dari kapas atau sutera, yang gunanya untuk menjahit atau
merangkai sesuatu. Sutrantapittaka terbagi lima antara lain, Dighanikaya, Majjhimanikaya,
Angutaranikaya, Samyuttanikaya, dan Khuddakanikaya.
3. Abbidharmapittaka,
berisi penjelasan dan uraian tentang keagamaan. Selain itu, di dalamnya dibahas
pula filsafat dan metafisika, juga sastra, memberikan definisi kata-kata BuddhaDharma,
dan penjelasan terperinci mengenai filsafat dengan sistematis, memantapkan
suatu metode mengenai latihan spiritual oleh para sesepuh dari aliran atau
sekte pada waktu itu, kumpulan dari kitab Abidharma ini dinamakan
AbidharmaPitaka. Kitab ini terbagi kepada tujuh buah buku (pakarana),
yaitu : dhammasangani, vibhanga, dhatukatha, puggallapannatti, kathavatthu,
yamaka, dan patthana.